Mitos Dilarang Menggelar Pertunjukan Wayang Golek di Desa Legokherang

Mitos Dilarangan Menggelar Pertunjukan Wayang Golek di Desa Legokherang


Mitos Dilarang Menggelar Pertunjukan Wayang Golek di Desa Legokherang - Wayang Golek adalah seni pertunjukan boneka kayu yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggabungkan beberapa unsur seni meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni sastra, seni tutur, seni lukis, seni pahat, serta seni perlambang. 


Pertunjukan wayang golek biasanya diiringi dengan alat musik atau gamelan yang terdiri dari gambang, kecrek, rebab, gong, demung, kendang, selentem, seperangkat bonang, peking, dan saron. Sedangkan cerita yang dibawakan dalam pertunjukan wayang golek merupakan kolaborasi antara kisah Hindu dan mitos yang dipercayai oleh masyarakat yang diadopsi dari kisah Mahabharata dan Ramayana. 


Tujuan para dalang memperkaya kisah Mahabharata dan Ramayana adalah untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Sejak awal diciptakan, wayang golek memang digunakan sebagai media untuk menyebarkan Agama Islam, karena pada masa itu ajaran Hindu dan Budha sudah cukup akrab di masyarakat Tatar Pasundan.


Sampai sekarang pun pertunjukan wayang golek selalu menceritakan tentang kebaikan dan kebenaran yang selalu menang saat melawan kejahatan. Bahkan para dalang sering memberikan nasihat dan ajakan untuk meningkkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT.


Wayang Golek biasanya dipentaskan dalam acara hiburan, pesta pernikahan, hajat desa, dan acara lainnya. Pagelaran wayang golek biasanya dilaksanakan saat malam hari (semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi.


Larangan Pertunjukan Wayang Golek di Desa Legokherang


Wayang Golek menjadi salah satu kesenian dan warisan budaya turun temurun yang menjadi hiburan masyarakat Sunda. Namun, justru bagi penduduk Desa Legokherang, Kecamatan Cilebak, Kabupaten Kuningan, wayang golek merupakan salah satu kesenian yang dilarang digelar di Desa tersebut.


Meskipun tidak diketahui secara pasti asal usulnya, larangan yang sudah ada sejak turun temurun tersebut masih tetap dipegang teguh oleh masyarakat Desa Legokherang hingga saat ini. Selama masih tinggal di Desa Lehokherang, mereka dilarang untuk menyelenggarakan pagelaran wayang golek. Konon katanya, jika pantangan tersebut dilanggar akan terjadi musibah seperti hujan angin disertai petir, gunung longsor, dan bencana lainnya.


Kalau sekadar mendengarkan wayang golek di radio atau nonton di televisi, memutar rekaman video, warga Desa Legokherang masih diperbolehkan. Yang dilarang itu adalah menggelar pertunjukan wayang golek secara langsung.


Kalaupun ingin nonton hiburan wayang golek secara langsung, biasanya mereka nonton wayang golek di desa tetangga. Ya, karena larangan menggelar pertunjukan wayang golek hanya di dalam Desa Legokherang. Di desa lain tidak ada mitos pantangan seperti itu.


Sejak Mimin kecil pun tidak pernah ada yang nanggap alias menyelenggarakan pergelaran wayang golek di desa tersebut. Entah itu hanya mitos, atau memang suatu keharusan bagi masyarakat di desa tersebut untuk tidak melakukan pagelaran wayang wolek.


Atau mungkin bisa juga ada kaitannya dengan batu nisan berbentuk kepala wayang yang ada di puncak Gunung Subang yang lokasinya berada di Desa Legokherang. Ada dua batu nisan berbentuk kepala wayang di puncak Gunung Subang. Konon katanya batu bergambar wayang tersebut merupakan nisan dari seorang pertapa yang meninggal di sana. 


Itu tadi hanya cocokologi. Seperti dikatakan tadi, sampai saat ini tidak ada yang tahu pasti tentang asal usul larangan menggelar pertunjukan wayang golek di Desa Legokherang. Pantangan tersebut merupakan hukum adat dan bagian dari kearifan lokal yang menjadi salah satu kebiasaan masyarakat Desa Legokherang yang memang perlu dilestarikan.


Mitos atau fakta? Wallahu a'lam.


Baca juga : Mitos Batu Ranto yang Akan Tenggelamkan Wilayah Rancah dan Sekitarnya

Terima kasih atas kunjungannya, silakan tinggalkan jejak di kolom komentar